Mengapa kita mengatakan "Insya Allah
Diperbarui: 15 Jun 2023
Di balik kata "In syaa Allah" yang sering kita ucapkan, merujuk pada kejadian yang akan datang, ada hubungannya dengan turunnya surat al-Kahfi, dan tentunya alasan mengapa (Insya Allah) kita mengucapkannya. Diriwayatkan dalam sebuah riwayat bahwa kaum Quraisy mengutus 2 orang utusan (Nadh bin al Harts dan Uqbah bin Abi Muith) untuk menanyakan tentang sifat-sifat seorang nabi kepada seorang imam yang sangat berpengetahuan tentang kitab-kitab suci di Yathrib (sekarang Madinah).
Mereka diutus oleh kaumnya karena akan ada seseorang di Mekkah yang mengaku sebagai nabi. Mereka berharap agar imam dapat menjelaskan kepada mereka tentang tanda-tanda/ciri-ciri seorang nabi.
Imam itu menjawab, 'Tanyakan padanya tiga hal. Jika dia tahu jawabannya, maka dia memang seorang nabi Tuhan. Jika tidak, maka dia adalah orang biasa.
Pertama, tanyakan tentang sekelompok anak muda yang memiliki pengalaman ajaib yang aneh. Kedua, kasus seseorang berjalan dari Masyrik ke Maghrib (dari timur naa
r barat), dan siapa mereka? Ketiga, pertanyaan tentang hantu/ruh.
Ketiga pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh orang biasa. Ada sekelompok anak muda yang mengalami pengalaman aneh, dan juga orang yang bepergian ke seluruh dunia, dan siapakah mereka? Dan apakah roh/ruh itu?
Kedua utusan itu kembali ke Mekah dan menyampaikan pesan itu kepada para pemuka Quraisy Mekkah. Mereka mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan tiga pertanyaan kepadanya. Nabi Muhammad SAW kemudian bersabda, “Saya akan menjawab pertanyaanmu besok”, tanpa mengucapkan Insyaa Allah.
Setelah mendengar nabi, kaum Quraisy kembali. Namun ternyata Nabi Muhammad SAW tidak mendapatkan wahyu keesokan harinya, seperti yang diharapkannya. Rasulullah SAW merasa sedih dan tidak tahu harus menjawab apa kepada kaum Quraisy. Hingga sekitar 15 hari kemudian, Surat Al Kahfi diturunkan. Dalam Surat Al Kahfi Rasulullaah, SAW ditegur/diperingatkan agar tidak bersedih karena kaum Quraisy tidak beriman kepada Al-Qur'an. Dan kemudian dengan baik mengatakan sesuatu yang nantinya akan dilakukan seseorang tanpa mengatakan in Syaa Allaah (Qs Kahfi 18:23).
Tentu saja, jawaban atas pertanyaan kaum Quraisy juga terungkap dalam Al Kahfi. Yang pertama adalah kisah Ashabul Kahfi yang telah ditidurkan oleh Allah SWT selama lebih dari 300 tahun.
Yang kedua adalah kisah seorang musafir yang memiliki ilmu tentang Allah (QS al Kahfi: 18:9-26) dan seorang musafir (Surah al Kahfi: 18:83-101) bernama Dzul Qarnayn. Dan pertanyaan ketiga tentang ruh dijawab oleh wahyu dalam surat al-Israa '17:85.Walaupun sudah cukup banyak tanda-tanda kenabian, namun masih sedikit orang yang beriman kepada Nabi.
Kisah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang in sya Allah telah dilupakan di sini menjadi pelajaran bagi kita betapa pentingnya mengingat hal-hal yang belum terjadi, yang sudah menjadi fikih kita. Bisa jadi apa yang kita rencanakan tidak terjadi karena tidak diizinkan oleh Allah. Jadi jangan lupa ucapkan in syaa Allah untuk meminta izin-Nya. Dan lebih jauh lagi, jangan gunakan itu sebagai cara untuk menolak ajakan, seperti yang sering digunakan di kalangan kita (orang Indonesia). Ini tentu bukan penggunaan yang benar. Jika kita tidak dapat melakukan sesuatu atau menjanjikan sesuatu, yang terbaik adalah menolaknya dengan benar. Wallaahu a'lam bisshowab.
Cerita di atas adalah entri saya dari Tausiyah Tafsir Surat Al Kahfi pada hari Minggu, 17 September oleh Pak Ustadz Tamsil. Ingin tahu lebih banyak tentang tafsir dan hadits serta pertanyaan-pertanyaan interaktif? Jangan lupa belajar untuk dewasa (laki-laki dan perempuan) setiap hari Minggu pukul 13:00-16:30. In syaa Allah kita akan belajar bersama ajaran Al-Qur'an yang akan memperkuat iman kita dalam Islam.